Rabu, 28 Januari 2009

Megawati (KickAndy.com)


“Sayang ya, Kick Andy jadi corong Megawati. Uang memang bisa mengalahkan idealisme..” Begitu bunyi salah satu SMS yang yang saya terima. SMS dari nomor yang tidak saya kenal itu hanya salah satu dari ratusan komentar sinis dari penonton Kick Andy pada episode Megawati Soekarnoputri.

Bahkan ketika masih dalam bentuk promo di Metro TV dan di situs kickandy.com, sejumlah orang sudah mengomentari wawancara saya dengan Megawati itu. “Kick Andy sudah tidak independen. Kick Andy sudah menjadi alat politik Megawati.”

Memang, sejak promonya muncul, timbul pro dan kontra. Terlebih setelah wawancara tersebut ditayangkan. Bagi yang pro, mereka mengatakan baru mengenal pemikiran-pemikiran Megawati setelah menonton Kick Andy. Mereka menilai Megawati tidak “bodoh” dan tidak “naif” seperti yang dikesankan selama ini. Sementara bagi yang kontra, mereka menganggap Megawati tetap tidak pantas memimpin negeri ini.

Di alam demokrasi seperti sekarang ini, pro dan kontra menjadi sesuatu yang lumrah. Sesuatu yang wajar dan perlu terus diperjuangkan. Kalaupun ada yang membuat saya sedih, lebih karena banyak di antara penulis komentar yang menyerang pribadi atau fisik. Bukan kebijakan atau pandangan-pandangan Megawati.

Nah, bagaimana dengan komentar bahwa saya dibayar dalam wawancara tersebut? Tuduhan semacam ini bukan barang baru. Pada tahun 1999, di ujung kerusuhan besar di Jakarta, saya juga pernah dituduh menerima satu milyar rupiah dari Pangab/Panglima TNI (waktu itu) Wiranto. Tuduhan itu lahir dalam kondisi yang hampir sama, yakni ketika saya mewawancarai Wiranto di RCTI selama dua jam.

Tuduhan itu baru saya ketahui ketika saya sedang belajar di Cardiff University, New South Wales, Inggris. Istri saya, sembari bergurau, menanyakan di mana saya menyimpan uang satu milyar itu? Pasalnya, sejumlah orang di milis menuduh saya sudah menerima satu milyar rupiah atas wawancara dengan Wiranto tersebut.

Saya geli sendiri. Sebab pada waktu itu hampir semua media berusaha mewawancarai dengan Wiranto berkaitan dengan kerusuhan yang berujung kejatuhan Pak Harto. Semua orang ingin tahu apa yang terjadi. Bahkan waktu itu secara berkelakar saya umumkan di dalam rapat redaksi Seputar Indonesia, RCTI, bahwa siapa yang bisa mewawancarai Wiranto akan mendapat hadiah dari saya selaku wakil pemimpin redaksi. Ini untuk menunjukkan betapa sulitnya mendapatkan Wiranto saat itu.

Akhirnya, setelah diyakinkan berkali-kali, Wiranto bersedia diwawancarai. Bahkan sampai dua jam. Pertanyaan saya waktu itu dinilai “kejam” oleh sejumlah orang. Karena dalam wawancara tersebut saya tanyakan soal tuduhan bahwa dia berada di belakang pembentukan Pam Swakarsa (yang berhadapan dengan mahasiswa) dan kerusuhan di Timor Timur. Tetapi toh muncul isu dalam wawancara itu saya dibayar Wiranto.

Tuduhan yang sama kini muncul kembali. Sejumlah komentar di situs kickandy.com menuding saya sudah “dibeli” oleh Megawati atau PDIP. Ada juga yang menuduh saya hanya menjalankan kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan pemilik Metro TV, Surya Paloh (yang juga Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar), yang hendak bergandeng tangan dengan PDIP.

Sejumlah komentar juga menyesalkan mengapa saya memberi ruang bagi Megawati untuk “kampanye”. Sementara komentar lain menginginkan saya memberi perlakuan yang adil bagi calon presiden lain untuk juga tampil di Kick Andy.

Hampir 30 tahun menjadi wartawan, saya sudah terbiasa dengan kritikan dan ancaman. Ini memang konsekuensi dari profesi yang saya tekuni. Saya selalu berusaha menerimnya dengan lapang dada dan menjadikan semua kritikan sebagai masukan.

Dalam hal wawancara dengan Megawati, sebenarnya sudah lebih dari satu tahun saya mengajukan permintaan. Selain mengirim surat resmi, saya juga melakukan pendekatan pada orang-orang dekat Megawati. Tetapi semua nihil. Sampai suatu hari Megawati menyatakan kesediaannya.

Saya sempat bertanya-tanya mengapa akhirnya Megawati bersedia. Sebab banyak orang mengatakan pertanyaan-pertanyaan saya pada setiap tokoh yang tampil di Kick Andy sering “keras” dan “kejam” walau tanpa pretensi. Saya sebenarnya hanya mewakili pertanyaan yang muncul di masyarakat.

“Setelah saya perhatikan, Kick Andy merupakan program televisi yang memberi inspirasi, motivasi, dan memberi ruang bagi narasumbernya untuk menyampaikan pikiran-pikirannya secara bebas,” begitu Megawati menjelaskan alasannya mengapa akhirnya bersedia tampil di Kick Andy.

Walau saya yang meminta wawancara tersebut, kepada Megawati saya tegaskan akan bertanya apa saja yang saya ingin tanyakan. Secara halus saya siratkan tidak akan bersedia jika ada larangan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh ditanyakan. Selama ini saya juga tidak pernah memberitahu apa yang akan saya tanyakan. Ini prinsip yang saya berlakukan kepada siapa saja selama menjadi wartawan. Kepada Megawati saya hanya mengatakan akan mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan “keras” yang harus dia jawab. Kalau dia tidak bersedia, sebaiknya wawancara dibatalkan.

Sejumlah teman yang skeptis mengkhawatirkan wawancara tidak akan berjalan lama. Mereka yakin Megawati tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya untuk sebuiah wawancara selama satu setengah jam. “Bisa ngomong lima menit saja sudah bagus,” ujar seorang teman.

Teman yang lain mewanti-wanti saya untuk tidak bertanya soal tuduhan (Menkopolkam waktu itu) SBY bahwa Megawati telah “menyingkirkannya” dengan tidak menegur dan mengajak ikut dalam rapat kabinet. Teman tadi khawatir jika pertanyaan itu saya lontarkan, Megawati akan diam seribu bahasa dan wawancara akan bubar berantakan.

Dalam kenyataan, di Kick Andy Megawati berbicara lebih dari tiga jam. Dia menjawab seluruh pertanyaan saya. Termasuk soal dia “menzalimi” SBY. Inilah wawancara pertama Megawati di stasiun televisi dan merupakan wawancara terpanjang yang pernah dilakukannya. Banyak hal yang selama ini tidak kita ketahui, terungkap. Termasuk soal mengapa dia hanya lulus SMA. Itu sebabnya kami membagi wawancara tersebut dalam dua episode.

Lepas dari setuju atau tidak Megawati mencalonkan diri kembali untuk pemilihan presiden pada 2009, ada beberapa hal yang bisa kita petik dari wawancara tersebut. Hal yang menarik untuk menjadi bahan pembelajaran.

Setidaknya kita bisa melihat bagaimana sikap Megawati terhadap Pak Harto. Dari wawancara tersebut tergambar dengan jelas dari cerita Megawati bagaimana keluarganya merasa diperlakukan tidak adil oleh rezim Orde Baru. Bagaimana mereka melihat Bung Karno diperlakukan dengan tidak pantas sebagai “mantan presiden”. Tetapi, ketika Megawati menjadi presiden, dan Pak Harto dalam kondisi lemah dan sakit-sakitan, Megawati tidak mengambil kesempatan untuk “balas dendam”.

Pelajaran lain adalah perjuangannya untuk meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan. Mungkin cara Megawati menjelaskan terkesan emosional, tetapi esensi yang bisa kita tangkap adalah bagaimana kekecewaannya pada sudut pandang masyarakat Indonesia terhadap kaum perempuan di negeri ini. Termasuk juga pada sikap sebagian kaum perempuan yang masih menempatkan dirinya sebagai kaum yang lemah.

Hal lain yang bisa kita petik adalah bagaimana Megawati menyikapi kasus kerusuhan 27 Juli 1996, ketika kantor pusat PDI yang dia pimpin diserbu sekelompok orang tak dikenal. Dalam peristiwa itu jatuh korban sejumlah kader PDI yang luka-luka bahkan dikabarkan ada yang tewas. Ada kesempatan bagi Megawati untuk “balas dendam” ketika dia menjadi presiden dan berkuasa. Tetapi dia lebih memilih menyerahkannya kasus tersebut kepada pengadilan koneksitas yang dibentuk. Meskipun sampai sekarang persoalan tersebut belum juga tuntas dan tetap menjadi misteri.

Beberapa hal tadi hanya sejumlah contoh yang bisa dipetik untuk memperkaya bathin kita. Sebaliknya, hal-hal negatif dari Megawati bisa menjadi bahan renungan dan introspeksi agar kita tidak melakukan hal yang sama dalam tataran kehidupan kita masing-masing.

Jika dianalogikan dalam ilmu silat, Kick Andy menerapkan jurus “dewa mabok”. Kick Andy sering mengangkat topik-topik yang tidak dipikirkan atau dipedulikan oleh program televisi lain. Kick Andy tidak tergantung pada “news peg” atau cantelan berita yang sedang aktual.

Bahwa Megawati muncul pada saat menjelang pemilihan presiden, saya juga tidak terlalu hirau. Setiap orang, setiap topik, bisa muncul kapan saja di Kick Andy. Bagaimana dengan kesempatan calon presiden lain untuk tampil di Kick Andy? Bisa saja. Tetapi, tidak juga menjadi keharusan. Sebab pemilihan nara sumber Kick Andy selama ini bukan berdasarkan asas “keadilan”. Supaya adil, maka jika Megawati sudah muncul, maka semua calon prsiden lain juga harus dimunculkan. Bukan begitu.

Kalau asa “keadilan” seperti itu yang diterapkan, saya khawatir justru Kick Andy akan terjebak pada politik praktis. Padahal sejauh ini Kick Andy berusaha independen. Dalam menentukan topik dan nara sumber, selama ini tidak ada campur tangan siapa pun. Tidak juga Surya Paloh, pemilik Metro TV. Ini sudah sikap.

Karena itu saya kasihan juga ketika dalam konteks Megawati, nama Surya Paloh terseret-seret. Surya Paloh baru tahu Megawati akan tampil di Kick Andy lima jam sebelum rekaman. Pada saat Megawati ke studio Metro TV, sebagai tuan rumah Surya Paloh turut menyambut. Tidak lebih dari itu.

Sekali lagi, pro dan kontra dalam alam demokrasi sangat diperlukan. Saya pribadi melihatnya sebagai sesuatu yang sehat. Soal tuduhan saya dibayar, diatur, dipaksa, atau diperalat dalam mengangkat sebuah topik, tetap saya terima sebagai masukan untuk introspeksi. Dengan begitu saya berharap dapat terus memperbaiki diri.

Kalaupun ada yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini, marilah kita memetik hal-hal yang positif dari topik yang ditampilkan di Kick Andy. Kita jadikan bahan pelajaran dalam hidup. Kita jadikan acuan untuk memperbaiki diri. Sedangkan bagian yang negatif kita masukan keranjang sampah. Maka marilah kita menonton Kick Andy dengan hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar